Pertanyaan Pada Diri Sendiri dari Dag Solstad
D ag Solstad dalam buku “Aib dan Martabat” menceritakan Elias Rukla sebagai tokoh utama dengan cerita yang dimulai di musim gu...
D
ag Solstad dalam buku “Aib dan Martabat” menceritakan Elias Rukla sebagai tokoh utama dengan cerita yang dimulai di musim gugur. Senin pagi di bulan Oktober, dia melakukan rutinitasnya bersama seorang istrinya. Salah satunya adalah mengucapkan “sampai jumpa” dengan begitu tulus dan ramah tamah yang tampak menyenangkan. Padahal kondisi itu tidak menampakkan kondisi mereka yang sebenarnya. Mereka menetap di Oslo, ibukota Norwegia. Sebagai seorang dosen sastra yang berusia 50 tahun, Elias memiliki hidup yang rumit.
Cerita dengan cepat berpindah ke dalam kelas. Pembaca secara tidak langsung akan merasa berpindah ke ruang kelas yang murung. Di tengah 29 remaja berusia 18 tahun, Elias meminta mereka mempelajari karya Itik Liarkarya salah seorang penulis yang bernama Henrik Ibsen. Dan di saat yang bersamaan, Elias mesti menanggung atmosfer yang diberikan dari siswa-siswanya. Kondisi kelas tidak lagi sepenuhnya menyenangkan dan itu disadari olehnya, namun demikian semua itu adalah kewajibannya sebagai seorang guru.
Kebosanan siswa dipaparkan melalui kondisi kelas yang telah menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk membahas karya Itik Liar dari Henrik Ibsen selama lebih dari sebulan. Dan pada hari itu, mereka masih ada pada bagian pertengahan. Siswa yang mengikuti mata pelajaran Bahasa itu, merasa begitu penat. Namun berbeda dengan Elias yang telah mengajarkan materi itu selama 25 tahun. Ia telah mengetahui kondisi kelas dan memahami apa yang terjadi pada remaja usia 18 tahun yang mesti menerima materi karya sastra Norwegia klasik. Pada bagian ini, Solstad memunculkan sebuah kritik akan kurikulum pendidikan yang dia anggap keliru. Materi SMA seharusnya tepat dan tidak seperti materi yang didapatkan mahasiswa. Apa daya, sistem pendidikan Norwegia memiliki target mutu tertentu hingga mengharuskan siswanya mengalami kondisi serupa.
Bermula pada bagian itu, Elias pun mengenang dirinya di masa lalu. Bagaimana ketika ia ikut merasa bosan dengan mata pelajaran dan materi yang sama. Serta pengenalan dan pengalamannya mempelajari karya-karya Ibsen seperti Peer Gynt, Brand, hantu-hantu, Hedda Gabler, Rosmersholm, dan Ketika Kita yang Telah Mati Bangkit. Baru setelah itu, sederet penulis Norwegia pun disebutkan sebagai gambaran selera dari tokoh dalam buku ini. Sebut saja, Bjornson, Kielland, Garborg, Hamsun, Vesaas, Mykle dan lain-lain.
Pada bagian selanjutnya, Elias pun bertemu dengan seorang teman yang berasal dari Jurusan Filsafat, Universitas Oslo yang bernama Johan Corneliussen. Mereka bertemu pertama kali dalam kuliah tentang Wittgenstein, dan Johan bertanya di sesi akhir. Pertanyaan itu membuat sang dosen sempat terdiam dan membuat Elias tertarik. Johan dianggap sebagai mahasiswa filsafat dengan masa depan gemilang bersama tesisnya tentang Immanuel Kant. Persahabatan mereka pun berlanjut.
Diri Elias menjadi lebih bergairah setelah mengenal Johan. Mereka menikmati sejumlah hal, musik, hoki es, sastra, film, sepakbola, iklan, politik, toko buku antic, klub film, dan pertandingan seluncur. Hingga pada akhirnya, Eva Linde datang dan menarik perhatian mereka berdua. Tidak seperti cinta segitiga pada umumnya, hubungan mereka berjalan berbeda. Johan menikah dengan Eva dan menjalani kehidupan yang bahagia, sementara Elias diam tak pernah mampu mengungkapkan perasaannya kepada Eva.
Namun ada masa ketika Johan telah memiliki satu orang anak dan ia mengalami masalah berat. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan istri dan anaknya. Hingga akhirnya, Elias pun datang menyelamatkan hidup Eva dan anaknya. Mereka pada akhirnya menikah dan menjalani hidup seperti keluarga pada umumnya. Meski, Elias harus menerima kenyataan bahwa dalam relung hati terdalam Eva, Johan tak pernah benar-benar pergi. Hingga usia senja, Elias dipenuhi pertanyaan dan keraguaan akan balasan kasih sayang yang ia terima dari Eva. Konflik sepasang suami istri tentu saja terjadi, namun bagaimana pun mereka telah dewasa dalam bersikap. Tantangan berat dari Elias adalah konflik melawan kondisi di luar dirinya yang tak mampu ia terka. Ditambah lagi dengan kasih sayang yang hanya bersifat rutinitas dengan seseorang perempuan yang kiranya dapat menjadi istri namun tetap pada posisi kawan semata, tidak lebih.
Solstad telah menggambarkan bagaimana tokoh Elias terjebak dalam ketiadaan di kelas hingga di keluarga kecilnya. Sepertinya, berada pada posisi Elias secara langsung menjebak kita untuk senantiasa memberi pertanyaan pada diri sendiri. Mengajukan sejumlah pertanyaan yang menguji apakah kita benar-benar ada di lingkungan kita atau hanya sesuatu yang bersifat nihilisme.
Tulisan di atas juga dimuat di Rubrik Budaya Kolom Apresiasi, Koran Fajarpada tanggal 11 Juni 2017.
Post a Comment: